11 September 2013

Pujian dan Label Positif Ternyata Menyimpan Bahaya

Jika seseorang punya potensi begitu besar untuk diraih, bagaimana mereka bisa mendapatkan keyakinan terhadap potensi mereka? Bagaimana kita bisa memberi mereka kepercayaan diri yang mereka perlukan untuk bisa mewujudkan potensi itu? Bagaimana kalau kita memuji kemampuan mereka agar mereka tahu bahwa mereka bisa? Faktanya, lebih dari 80% orang tua berpendapat bahwa pujian terhadap kemampuan anak adalah hal penting untuk mendorong perkembangan kepercayaan diri dan pencapaian mereka. Kalau dipikir-pikir, masuk akal juga.

Namun kemudian timbul kekhawatiran melihat orang-orang dengan mindset tetap menjadi terlalu fokus pada kemampuan mereka. "Apakah ini sudah cukup tinggi?" "Apakah ini akan terlihat bagus?" Akankah pujian terhadap kemampuan seseorang akan membuat mereka lebih fokus lagi pada hal tersebut? Akankah itu membuat mereka mengira bahwa itulah yang sangat kita hargai, atau bahkan, membuat mereka mengira kita bisa melihat kemampuan mereka yang tersimpan dalam diri mereka dari pencapaian mereka sekarang? Bukankah itu mengajarkan mereka untuk ber-mindset tetap?

Adam Guettel telah mendapat gelar putra mahkota dan penyelamat teater musikal. Dia adalah cucu Richard Rodgers, pengarang lagu klasik seperti Oklahoma! dan Carousel. Ibunda Guettel sesumbar tentang kejeniusan anaknya. Begitu juga hampir semua orang di sekitarnya memuji. "Bakatnya terlihat dan luar biasa", tulis sebuah review di The New York Times. Pertanyaannya adalah apakah pujian semacam ini akan bisa menggugah seseorang untuk maju.

Dalam riset, sah-sah saja mengajukan pertanyaan seperti ini dan berusaha menjawabnya sendiri. Karena itu, kami melakukan penelitian terhadap ratusan siswa, yang sebagian besar masih remaja. Mula-mula kami sajikan pada mereka sepuluh masalah yang cukup mudah yang diambil dari tes IQ nonverbal. Mereka rata-rata bisa menyelesaikan dengan baik, dan ketika mereka selesai, kami puji mereka.

Kami puji sebagian mereka atas kemampuan mereka. Kepada mereka disampaikan: "Luar biasa, kamu dapat angka [katakanlah] delapan! Itu nilai yang sangat bagus. Kamu pasti pandai dalam mengerjakan soal seperti ini". Mereka kami letakkan dalam posisi serupa dengan Adam Guettel yang dipuji dengan "anda sangat berbakat".

Sebagian yang lain kami puji atas usaha mereka. Kepada mereka dikatakan: "Luar biasa, kamu memperoleh angka [katakan] delapan! Ini adalah angka yang sangat bagus. Kamu pasti telah berusaha dengan keras." Kami tidak membuat mereka merasa punya bakat spesial; mereka dipuji karena telah melakukan apa yang perlu dilakukan untuk mendapatkan angka yang bagus.

Kedua kelompok mulanya sama. Namun setelah pujian tersebut, mereka mulai berbeda. Seperti yang kami khawatirkan, pujian atas bakat atau kemampuan telah mendorong para siswa ini ke dalam mindset tetap, dan mereka menunjukkan semua tandanya: Ketika kami memberi mereka pilihan untuk mengerjakan tugas yang lebih sulit agar mereka bisa belajar lebih, mereka menolak. Mereka tidak mau melakukan sesuatu yang bisa memperlihatkan kekurangan mereka dan membuat orang mempertanyakan bakat yang mereka punya.

Ketika Guettel berusia tiga belas tahun, ia menjadi bintang dalam acara Opera Metropolitan dan Serial TV Amahl and the Night Visitors. Ia tertunduk dan berkata bahwa suaranya telah rusak. "Saya berpura-pura bahwa suara saya sudah berubah .... Saya tidak sanggup menerima tekanan itu."

Sebaliknya, siswa yang kami puji atas usahanya, 90 persen bersedia menerima tugas yang lebih sulit agar mereka bisa belajar lebih banyak.

Kami kemudian memberikan tugas baru yang jauh lebih sulit, di mana para siswa tidak begitu mampu mengerjakannya dengan baik. Para siswa "berbakat" sekarang menganggap diri mereka sebenarnya tidaklah begitu pandai. Jika keberhasilan membuat mereka merasa pandai, maka sedikit ketidakberhasilan menjadikan mereka merasa bodoh.

Guettel juga merasakan ini. "Dalam keluarga saya, bagus berarti gagal. Sangat bagus artinya gagal ... Satu-satunya yang tidak berarti gagal adalah menjadi sangat-sangat luar biasa."

Siswa "usaha" menganggap bahwa kesulitan hanyalah berarti "usahakan lebih keras". Mereka tidak melihatnya sebagai kegagalan, dan mereka tidak menganggap bahwa itulah ukuran intelektualitas mereka.

Sejauh mana siswa menikmati mengerjakan soal? Setelah soal awal, di mana sebagian besar berhasil, mereka semua senang mengerjakan soal tersebut, namun setelah soal yang sulit tadi, siswa "berbakat" mengatakan bahwa soalnya tidak lagi menyenangkan. Pastilah tidak menyenangkan kalau bakat spesial anda, yang menjadikan anda orang pandai, terancam hilang.

Mari kita dengar Adam Guettel: "Seandainya saja saya bisa bersenang-senang dan santai dan tidak usah punya tanggung jawab terhadap potensi untuk menjadi orang luar biasa." Seperti halnya anak-anak dalam penelitian kami, beban akan bakat mereka telah membunuh semangat mereka.

Siswa "usaha" masih menikmati soal-soal yang susah sekalipun, dan banyak di antaranya yang mengatakan bahwa yang susahlah yang lebih menyenangkan.

Selanjutnya kami mengukur performa para siswa. Setelah mengalami kesulitan, performa siswa yang dipuji atas bakat mereka menurun, bahkan saat diberi soal yang lebih mudah sekalipun. Mereka tidak lagi yakin dengan kemampuan mereka, nilai mereka lebih rendah dibandingkan saat mereka mulai. Siswa yang dipuji atas usaha mereka menunjukkan performa yang semakin baik. Mereka telah memanfaatkan soal yang sulit tadi untuk mengasah kemampuan baru yang lebih baik, sehingga saat diberi yang lebih mudah, mereka menjadi jauh lebih unggul.

Karena ini tes IQ, anda boleh menyimpulkan bahwa memuji bakat siswa bisa menurunkan IQ-nya, dan memuji usaha mereka bisa memperbaikinya.

Guettel tidak mengalami kemajuan. Ia sekarang bergelut dengan tics obesesif kompulsif dan jari tangan yang digigit sampai berdarah. "Cukup satu menit bersama dia, dan kengerian teror dibalik tics itu mulai menampakkan diri," kata seorang yang telah mewawancarainya. Guettel juga telah berjuang melawan ketergantungan obat serius yang berulang. Bukannya menguatkan, "karunia" itu telah mengisinya dengan ketakutan dan keraguan. Bukannya memenuhi tuntutan bakatnya, komposer brillian ini telah menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk melarikan diri dari bakat itu.

Satu harapan, karena ia sadar bahwa ia punya jalan hidup sendiri yang tidak ditentukan oleh orang lain dan pandangan mereka terhadap bakat yang ia miliki. Suatu malam ia bermimpi bertemu kakeknya. "Saya mengantarnya menuju lift. Saya bertanya apakah saya ini ada gunanya. Sang kakek berkata lembut, 'kau punya suara sendiri.'"

Apakah "suara" itu yang akhirnya muncul? Sebab pada tahun 2005 Guettel memperoleh Tony Award, atas komposisi The Light in the Piazza, sebuah musikal yang sangat romantis. Akankah ia menerimanya sebagai pujian atas bakatnya, atau usahanya? Saya berharap ia menganggapnya sebagai pujian atas usahanya.

Ada satu lagi temuan dalam penelitian kami yang cukup mencengangkan sekaligus membuat kita merasa takut. Kami katakan pada para siswa "Kami akan mengunjungi sekolah lain, dan kemungkinan besar anak-anak yang ada di sekolah tersebut ingin tahu pendapat kalian mengenai soal-soal yang kalian kerjakan". Kami lalu memberi mereka selembar kertas untuk mereka isi dengan pendapat mereka, dan juga kami siapkan kolom untuk menuliskan nilai yang mereka dapatkan saat mengerjakan soal yang mereka ceritakan dalam kertas tersebut.

Percayakah anda, bahwa 40 % dari siswa yang dipuji atas bakatnya tadi menuliskan nilai palsu? Dan memang demikianlah. Dalam mindset tetap, ketidaksempurnaan adalah hal yang memalukan-- terutama jika anda adalah seorang yang berbakat--sehingga mereka memalsukannya.

Yang sangat mengkhawatirkan adalah kami telah menjadikan anak-anak biasa itu seorang pembohong, hanya dengan sebuah pujian, bahwa mereka itu anak pintar.

Setelah menulis paragraf ini, saya bertemu dengan seorang pemuda yang membantu siswa dalam menempuh ujian masuk perguruan tinggi. Dia mengkonsultasikan seorang siswanya. Siswa ini menjalani tes latihan dan kemudian berbohong mengenai nilai yang ia dapatkan. Seharusnya si pemuda ini akan membantu siswa tadi pada hal-hal yang kurang dari tesnya, tapi si siswa tidak mampu mengungkapkan kekurangannya! Dan ia membayar untuk ini.

Jadi, memuji anak anda pintar, pada akhirnya akan membuat mereka lebih bodoh dan bertindak bodoh, namun mereka tetap mengklaim bahwa diri mereka lebih pintar. Saya pikir bukan ini tujuan kita saat kita melabel orang secara positif---"berbakat," "jenius," "brillian". Kita tidak mau memusnahkan semangat mereka menghadapi tantangan dan merobek resep sukses mereka.  Tapi itu bahayanya.

Berikut ini, sebuah surat dari seseorang yang telah membaca tulisan saya:

Dear Dr. Dweck,

Membaca tulisan anda adalah hal yang menyakitkan, karena saya melihat diri saya di dalamnya.

Saat masih kecil, saya adalah anggota The Gitfted Child Society dan terus mendapat pujian akan intelejensi saya. Sekarang, setelah seumur hidup tidak mampu mencapai potensi saya (umur saya sekarang 49 tahun), saya mulai belajar untuk berdedikasi mengerjakan tugas. Dan juga memandang kegagalan tidak sebagai tanda kebodohan tapi sebagai tanda kurangnya pengalaman dan keterampilan. Tulisan anda telah membantu saya memandang diri saya sendiri dengan cahaya baru.

Seth Abrams

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tanggap